Kajian Penelantaran Anak Pernikahan Siri atau Diluar Pernikahan pada Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974
Main Article Content
Abstract
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menjelaskan bahwa anak hasil perkawinan siri mempunyai hubungan keperdataan terhadap ayah biologisnya, sehingga anak tersebut mempunyai hak yang sama sebagaimana anak hasil pernikahan yang tercatat sebagaimana di atur dalam perundang-undangan nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dan secara konstitusi juga mendapatkan perlindungan hukum. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah terhadap pelaku penelantaran anak hasil pernikahan siri dapat di kenakan sebagai perbuatan pidana diharapkan dapat menekan terjadinya perbuatan penelantaran yang dilakukan oleh ayah biologisnya serta memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang dihasilkan dari pernikahan siri . Data yang digunakan adalah kasuistis atau kasus yang pernah dilaporkan ke Kepolisian Resor Kota (Polresta) Solo, dimana kasus tersebut terhenti atau dihentikan penyelidikannya dikarenakan belum memenuhi unsur unsur pidana, karena tidak adanya sandaran hukum yang dijadikan pijakan untuk dapat menjerat terhadap pelaku penelantaran anak, adapun kendala dalam menempatkan pelaku penelantaran anak hasil pernikahan siri dalam perbuatan pidana adalah : pertama, Undang-undang no. 1 tahun 1974 pasal 42 dan 43 ayat (1) bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kedua, faktor belum adanya perlindungan hukum terhadap anak hasil pernikahan siri terhadap ayah biologisnya bila terjadi perbuatan melanggar hukum, ketiga, lemahnya korban/wanita untuk melaporkan/mengadukannya karena itu dianggap perbuatan aib. Penelitian ini menggunakan metode sosiologis atau empiris dimana menempatkan hukum sebagai gejala sosial di masyarakat.